Ketika saya menggelandang di Austria dan mengikuti tour sehari ke Salzburg dari Vienna, saya baru sadar kalau saya satu bis bersama orang-orang kaya dari seluruh dunia. Ada seorang madame dari Perancis, seorang nyonya dari Kanada, pasangan dari Spanyol, beberapa orang dari Amerika Serikat dan salah seorang diplomat dari Korea Selatan. Dalam perjalanan sang madame menanyakan saya dari mana dan mengapa saya bisa sampai di dalam bis itu. Sang madame kemudian mengungkapkan kekagumannya kepada saya yang berani sendirian menggelandang sampai di Austria. Saya juga kemudian dengan semangat menceritakan tentang Indonesia dan mengundang dia untuk datang ke negeri saya. Tiba-tiba dia tersentak dan dengan spontan nyeletuk,”O, ya. Saya baru ingat kalau tahun depan akan menghadiri konferensi Lion Club di Indonesia”.
“Di kota mana ? Di Jakartakah atau di Balikah ?” saya bertanya.
Dia mengaku lupa, tapi kelihatan dari raut wajahnya dia begitu penasaran, malah membuka-buka buku agendanya segala.
Setelah sore dia kembali menghampiri saya,”Osa, saya ingat ke mana nanti saya akan mengunjungi Indonesia”.
“Di manakah ?” saya juga ikut-ikutan penasaran.
Sambil tersenyum dia menjawab dengan tegas, “Di Bangkok”. Haa ?!
Dari pengalaman di atas, saya kok jadi berpikir apakah negara-negara tetangga kita sedang memanfaatkan “kebodohan geografi” yang dimiliki oleh sobat-sobat kita di dunia belahan utara dengan mengiklankan diri sebagai bagian dari Indonesia. Makanya saya berprasangka apakah Bangkok mengiklankan diri sebagai bagian dari negara Indonesia, karena terus terang banyak orang dengar tentang Bali dan Indonesia tapi tidak begitu mengerti di mana letaknya di peta. Di setiap iklannya mereka menampilkan pantai-pantai yang indah (seperti Bali), suasana Bangkok (yang seperti Bali) dan wajah-wajah manis mirip wajah saya (ehm..ehm), dan itu dipersepsi oleh orang-orang Eropa bahwa kalau mereka ke Bangkok berarti sudah sama dengan pergi ke Indonesia.
Dengan logika yang sama, saya coba menganalisis bahwa secara psikologis Malaysia sedang mengiklankan diri sebagai bagian dari Indonesia. Dengan iklannya yang menampilkan Rasa Sayange, wayang kulit, angklung, batik, tari pendet, reog dan bunga bangkai mereka sedang menanamkan persepsi ke benak orang-orang awam di Eropa dan Amerika Serikat, bahwa dengan berkunjung ke Malaysia berarti sudah berkunjung ke Indonesia. Wong, seluruh dunia (UNESCO) sudah tahu kok kalau wayang kulit itu dari Indonesia, lalu bunga bangkai (Raflesia Arnoldia) itu habitatnya juga di Indonesia lalu apa logikanya kalau mereka menampilkan itu semua di iklan wisatanya selain untuk mengecoh orang awam bahwa Malaysia itu bagian dari Indonesia.
Setiap negara biasanya selalu punya kecenderungan untuk menonjolkan ciri khas dan identitas lokalnya, gengsi dong kalau dianggap sama dengan negara lain. Tapi tidak demikian dengan Malaysia, dia melepaskan identitasnya sebagai bangsa Malaysia (melayu) dan lebih ingin dikenal sebagai Indonesia. Jadi nggak terlalu salah kan kalau secara defacto Malaysia sebenarnya telah menjadi propinsi ke-34 Republik Indonesia ? Walaupun malu-malu mengakui, mereka secara psikologis tengah merindukan untuk bergabung dengan Indonesia. Bayangkan, semua yang di Indonesia ada di sana, mulai orang Aceh, orang Minang, orang Jawa, orang Bugis, orang Madura. Malahan para TKI kita sudah beranak-pinak di sana dan sudah menganggap Malaysia sebagai kampung halaman sendiri, nggak beda dengan Surabaya, Jember, Padang atau Makasar. Hebatnya lagi mereka mampu meracuni pikiran orang-orang melayu asli di sana dengan tradisi asli Indonesia semisal reog, wayang kulit, jaran kepang sehingga mereka tercabut dari akar budaya sendiri yaitu melayu. Malaysia sekarang tampaknya malu mengakui diri sebagai bangsa Melayu, mereka lebih bangga dianggap sebagai bagian dari Indonesia.
Mengenai tari Pendet, seharusnya teman-teman di Bali malah bisa merasa menang. Kalau banyak di antara kita bisa menarikan Pendet, tentu sah-sah saja karena Indonesia bukan negara agama sehingga tanpa beban menarikannya walaupun tari Pendet sebenarnya adalah tarian suci Hindu Bali yang dimodifikasi. Tapi lihatlah Malaysia ! Bukankah ini sebuah invasi budaya yang luar biasa karena sebuah negara Islam semacam Malaysia tidak malu-malu mengakui kalau sebuah tarian Hindu Bali sudah menjadi akar budayanya ? Bukankah ini berarti bahwa Malaysia sudah mengakui sebagai bagian dari Bali ?
3 tahun yang lalu banyak dijual kaos-kaos di Malaysia bertuliskan “Sipadan – Ligitan: We come, we conqueror and we win” Nah kalau kita pintar kenapa kita tidak mempromosikan Malaysia sebagai propinsi ke-34 Republik Indonesia di weblog-weblog yang kita miliki. Katakan kepada dunia bahwa silakan datang ke Indonesia, dan setelah anda puas mengunjungi Bali, Bunaken dan Bromo kami akan mengantar anda ke salah satu propinsi kami di utara. Di sana anda akan bisa menikmati segala hal yang juga ada di propinsi-propinsi Indonesia yang lain.
Pemerintah ??!!……aahh…
(Osa Kurniawan Ilham, Kompas, 23 Agustus 2009)
Sumber : Blog Kompas
24.8.09
Malaysia Provinsi Ke-34 Republik Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar
kritik dan saran