Oleh doddypoerbo -
Akhirnya diakui oleh Discovery Chanel, yang memasukan tari pendet dalam tayangan promosi pariwisata Malaysia adalah pihaknya. Terlepas dari perbuatan siapa, tayangan tersebut telah membuat hati bangsa ini terluka. Belum lagi masalah tari pendet mereda, muncul lagi lagu kebangsaan kita Indonesia Raya dilecehkan oleh Bangsa Malaysia. Perseteruan Bangsa Indonesia dengan Bangsa Malaysia seakan tidak pernah habis habisnya mulai dari zaman Bung Karno. Kalau dulu Bung Karno mengumandangkan ganyang Malaysia karena negara itu dianggap sebagai negara boneka Inggris bentuk dari neokolonialisme yang sangat dibenci Bung Karno, sekarang masalahnya apa ?.
Lain waktu, lain pula masalahnya. Seperti kita lihat dari syair lagu Indonesia Raya yang diplesetkan oleh Bangsa Malaysia, menunjukkan kebencian terhadap pendatang ilegal dari Indonesia.
Harus kita akui, negara jiran tersebut relatif lebih maju perekonomianya, berkembangnya dunia usaha di Malaysia telah memberikan kesempatan pekerjaan bagi rakyatnya. Akan tetapi, kemajuan dunia usaha tersebut tidak diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja yang memadai. Tidak seimbangnya ketersediaan tenaga kerja dengan kebutuhan menyebabkan naiknya upah yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha Malaysia. Dalam dunia usaha tentunya mencari profit yang sebesar-besarnya, oleh karena tidak seimbangnya ketersediaan tenaga kerja di Malaysia membuat para pekerja Malaysia mempunyai bargaining yang tinggi sehingga dinilai sebagai tenaga kerja yang rewel dan mahal.
Adalah hal yang wajar apabila para pengusaha memikirkan kantongnya sendiri karena ada kewajiban para pengusaha tersebut untuk mengembalikan investasi yang telah ditanamkan serta harus mendapatkan target profit dari investasinya itu. Mengingat tenaga kerja asal Malaysia sudah dinilai rewel dan mahal, sehingga bagi para pengusaha tersebut menggunakan tenaga asal Malaysia dirasa menjadi tidak efisien.
Ketersediaan tenaga kerja yang terbatas itu, oleh para pengusaha Malaysia diisi oleh tenaga kerja dari luar, bukan hanya dari Indonesia. Standart upah buruh Indonesia yang jauh lebih murah disamping kemiripan bahasa, membuat para pengusaha Malaysia lebih menyukai tenaga kerja dari Indonesia. Bagi pekerja Indonesia, dengan penghasilan yang lebih besar bekerja di Malaysia dibanding dinegerinya sendiri walaupun lebih kecil dari standart upah buruh lain bangsa, bukanlah menjadi persoalan. Sifat tenaga kerja dari Indonesia ini dimanfaatkan oleh para pengusaha Malaysia untuk mendatangkan lebih banyak lagi dengan cara getok tular, sehingga mendorong para tenaga kerja Indonesia legal mengajak famili atau teman, baik dengan cara legal maupun ilegal karena ada peluang kerja tersebut.
Membanjirnya tenaga kerja dari Indonesia, tak pelak lagi telah menggusur tenaga kerja dari negara lain bahkan buruh dari Malaysia sendiri. Ibarat pedagang, pedagang yang suka banting harga pasti pasti disenangi oleh pembeli tetapi tidak disukai oleh sesama pedagang. Begitu juga dengan tenaga kerja dari Indonesia, tenaga kerja yang ilegal lebih desenangi oleh para pengusaha Malaysia karena lebih murah dari yang resmi tetapi tidak disukai oleh tenaga kerja Malaysia.
Dilain sisi, para pencari kerja dari Indonesia banyak yang sudah membaur dengan masyarakat asli, mereka ini membawa juga seni budayanya dan kini telah menjadi bagian dari seni budaya masyarakat Malaysia. Bahwa datangnya para pencari kerja itu, disatu pihak menguntungkan bangsa Malaysia, dilain pihak ada bagian masyarakat yang tidak diuntungkan. Benturan kepentingan itulah yang pada akhirnya menimbulkan gejolak sosial yang dilampiaskan kepada pendatang dari Indonesia dan diungkapkan dalam ungkapan sentimen kebangsaan.
Sikap kontra terhadap membanjirnya tenaga kerja Indonesia pada akhirnya telah menjadi problem sosial di Malaysia sehingga memicu terjadinya tindakan semena-mena terhadap para imigran dari Indonesia terutama terhadap imigran yang disebut pendatang haram itu. Sebaliknya, pendatang gelap dari Indonesia tidak dapat dibendung karena memang di Malaysia ada pihak yang membutuhkan.
Jika dilihat dari akar permasalahanya, permasalahanya adalah karena di Indonesia tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai sehingga banyak yang harus meninggalkan daerahnya demi kebutuhan hidup. Mereka-mereka yang mencari kerja di Malaysia, adalah bangsa Indonesia yang mempunyai fighting spirit relatif cukup baik sehingga akhirnya mampu mendominasi pasaran tenaga kerja di Malaysia. Ketidak mampuan sebagian dari bangsa Malaysia menghadapi serbuan tenaga kerja dari Indonesia ini, telah menimbulkan rasa frustasi dikalangan bangsa Malaysia yang merasa kehilangan peluang.
Sepanjang pengalaman penulis berkerja bersama expertis dari mancanegara, billing rate para expert bangsa Indonesia masih jauh dibawah dari rate bangsa Filipina, India atau Bangladesh yang negaranya relatif setaraf dengan Indonesia. Tetapi jika dibandingkan dengan penghasilan seorang Kepala Cabang Utama Bank pelat merah, jumlah yang diterima para expert dari Indonesia masih jauh lebih besar. Artinya, walaupun di Indonesia tersedia lapangan kerja, penghasilannya belum mampu untuk menutup kebutuhan hidup yang layak, inilah salah satu hal yang menyebabkan korupsi dan pungli di Indonesia sulit diberantas.
Jika pemerintah dianggap kurang tanggap dengan kelakuan bangsa Malaysia, bisa dimaklumi sebab pemerintahpun seolah membiarkan juga adanya exodus tenaga kerja Indonesia ke Malaysia sebagai cara instan mengatasi masalah pengangguran. Mungkin pepatah lama yang mengatakan lebih baik hujan batu batu dinegeri sendiri dari pada hujan emas di negeri orang sudah berubah menjadi lebih baik hujan batu dinegeri orang dari pada hujan bom dinegeri sendiri.
Sumber : Blog Kompas
28.8.09
Pelecehan Lagu Kebangsaan Indonesia, Potret Bangsa Malaysia yang Frustasi Menghadapi TKI.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar
kritik dan saran